Sabtu, 23 Januari 2010

mencoba mengukir sejarah


hari ini pada esok hari pasti akan menjadi hari kemarin.
artinya, hari ini akan menjadi masa lalu
masa lalu dipastikan kan menjadi sebuah sejarah
mari lakukan apa nan bisa dan dapat dibuat hari ini
karena itu pasti kan menjadi bagian dari sejarah nan kau ukir ......



tetapi, tidak semua apa nan dilakukan setiap orang dapat dan mampu disebut sejarah
karena bincang tentang sejarah berkenaan dengan hal-hal besar dan fundamentalis
maka ukirlah sejarah nan akan kau ciptakan
dengan melakukan dan membuat hal-hal besar dan fundamentalis......

Makalah Sriwijaya Dedi 1

Pelupaan dan Pengingatan Memori Ruang Publik Kota Fo-shih, Sriwijaya:

Memahami Lokasi Sriwijaya ditinjau dari Segi Budaya[1]

Oleh:

Dedi Irwanto[2]

A. Pendahuluan

Apabila kita merujuk pada pengertian kebudayaan yang diuraikan Koentjaraninggrat,[3] di mana ia memberi terminologi, pertama sebagai wujud komplek cita-cita, gagasan, konsep serta pikiran manusia yang dikategorikannya sebagai sistem budaya. Kedua, sebagai wujud komplek dari aktivitas tindakan dan perilaku dalam berinteraksi di masyarakat yang lebih dicondongkan sebagai sistem sosial. Serta ketiga yang digolongkannnya sebagai sistem fisik dengan wujud sebagai benda-benda fisik hasil karya manusia. Maka sejatinya, sebuah kebudayaan, dalam hal ini budaya, memiliki makna dan artian nan luas. Seluruh apa yang dihasilkan oleh manusia dalam hidupnya, baik ide, pikiran, benda fisik, dapat disebut sebagai budaya. Oleh karena itu, sebenarnya, apa yang menjadi objek sejarah tentang masa lampau, sistem budaya, sosial dan jejak fisiknya, maka secara tidak langsung ia sebetulnya berbicara tentang kebudayaan manusia itu sendiri di masa lampaunya. Artinya, dalam hal ini ada keterkaitan nan erat antara sejarah dan budaya atau kebudayaan itu sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, kadang banyak tulisan tentang kebudayaan, termasuk tentang sejarah kebudayaan, baik sekarang maupun di masa lampau, dieksplanasikan penulisnya dengan tujuh unsur universal kebudayaan.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba membalikkan bahasan dalam wacana ini, dengan membicarakan kembali lokasi Sriwijaya lewat sebuah usaha mencoba melakukan apa yang disebut dengan dekonstruksi berdasarkan peninggalan-peniggalan sistem fisik untuk melihat bagaimana sistem budaya dan sistem sosial dari jejak budaya masyarakat Sriwijaya di masa nan lampau tersebut. Tetapi dalam tulisan ini, penulis mendekonstruksikan peninggalan-peninggalan sistem fisik ini dalam sebuah konsep untuk mencari, memahami dan merumuskan apa yang sekarang disebut orang sebagai ruang publik, dalam tulisan ini tentu ruang publik masyarakat kerajaan Sriwijaya. Boleh dikatakan secara metodologis, kalau saya tidak malu mengatakannya, tulisan ini mencoba menggunakan perspektif sejarah penafsiran atau tafsir atas simbol. Setelah dan berdasarkan hal itu, penulis ingin mendiskusikan kembali di mana letak kerajaan bernama Sriwijaya, berdasar eksplanasi budayanya.

Acuan pada apa yang disebut sebagai ruang publik[4] adalah bayangan penulis tentang suatu tempat yang secara fisik dapat ditunjuk dan bisa ditempati. Dapat saja ruang publik ini sebagai sebuah lapangan atau alun-alun pada sebuah istana, area suci tempat haltar dan arena pertunjukan di mana ibadah dilakukan oleh masyarakat pendukung suatu kebudayaan ataupun area artefak-artefak monumen, bangunan dan fisik ruang. Artinya, ruang publik di sini diposisikan bukan saja hanya sebagai tempat pembentuk memori kolektif tetapi juga sebagai tempat pembetukkan wacana pelupaan[5]. Jadi dalam pembicaraan ini, yang dimaksud ruang publik tidak saja terbatas pada lapangan umum yang memusat, tetapi dapat juga tempat-tempat, area situs-situs, di berbagai pelosok kota tempat pengalaman sosial dirangkai dalam hal ini, di bawah maupun di luar pemantauan kekuasaan kerajaan Sriwijaya. Selain itu, ruang publik pada intinya merupakan ruang yang aktif mengontrol dan membentuk kesadaran masyarakat.

Sebagai bagian dari kajian dekonstruksionis, maka yang ingin dilihat disini adalah pemaknaan tentang ruang publik, oleh karena itu dalam kerangka kerja tulisan ini pemaknaan ini meliputi suatu kegiatan yang melibatkan wacana pengingatan, pengabaian dan pelupaan. Di sini, ruang publik ditempatkan sebagai tempat kita merajut momen-momen yang dapat diingat bersama, sekaligus tempat di mana orang melalui pemaknaan tentunya, melupakan momen-momen yang ingin maupun yang tidak ingin dilupakan. Disebabkan inilah, boleh dikatakan bahwa memori kolektif muncul dari pelupaan kolektif. Memori kolektif dibangkitkan kembali lewat rajutan-rajutan proses pengingatan dan pelupaan yang melibatkan tatanan lingkungan fisik di ruang publik, tempat sistem fisik ditinggalkan oleh hasil budaya manusia pendukung Kerajaan Sriwijaya. Untuk melacak tipologi memori Kerajaan Sriwijaya, dapat saja dimulai dengan momen-momen berdirinya kekuasaan Sriwijaya.

A. Memisahkan dan Mengatasi Memori: Revolusi Kota Fo-shih[6], Sriwijaya

…. (1) bahagia! Pada tahun saka 605 hari kesebelas, (2) dari bulan terang bulan waisakha dapunta hyang naik (3) di perahu melakukan shiddhayatra. Pada hari ketujuh bulan terang (4) bulan Jyetsha dapunta hyang berangkat dari minanga (5) tma membawa tentara dua laksa orang (6) dua ratus orang di perahu yang berjalan seribu (7) 312 banyaknya datang di matada… (8) dengan senang hati pada hari kelima dari terang bulan (asada) (9) dengan lega gembira datang membuat wanua (10) sriwijaya melakukan perjalanan dengan lengkap…[7]

Menurut eksplanasi Krom[8] yang diikuti oleh Yamin[9], prasasti Kedukan Bukit adalah proklamasi tentang Sriwijaya, namun tampaknya piagam ini bukanlah teks proklamasi Sriwijaya. Jadi, sebenarnya ia tampaknya tidak lebih dari sebuah monumen tentang pendirian dari sebuah wihara yang didahului dengan sebuah perjalanan siddhayatra, perjalanan jaya nan suci, dengan melakukan perpindahaan tempat. Perjalanan ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh pendeta I-ts’ing pada kalimat kutipan kedua. Terlepas dari perdebatan tentang minanga tamwa (r) dan ma-ta-da tersebut, yang ingin dilihat di sini adalah bagaimana persoalan mengatasi memori kolektif ruang publik yang tercipta tersebut.

Om! Semoga berhasil... kamu semua, berapapun banyaknya, putra raja..., bupati, senapati, nayaka, pratiyaya, orang kepercayaan (?) raja, hakim, pemimpin...(?), kepala para buruh, pengawas kasta rendah, vasikarana, kumaramatya, catabhata, adhikarana...(?), pekerja, pemahat, nakhoda, pedagang, pemimpin...(?), dan kamu tukang cuci raja dan budak raja. Kamu semua akan mati oleh kutukan ini, jika kamu tidak setia kepadaku, kamu akan mati oleh kutukan. Selain itu, jika kamu berlaku sebagai penghianat, berkomplot dengan orang-orang...(?)......

….sesudah hampir 20 hari berlayar, kapal sampai di Fo-shih. Disini ia mendarat dan menetap selama enam bulan untuk belajar Sabdavidya, yakni tata bahasa Sansekerta. Atas bantuan Sri Baginda Raja, kemudian ia berangkat ke Mo-lo-youe, di sini ia singgah selama dua bulan lamanya. Kemudian ia meneruskan perjalanan ke Chieh-cha. Di sini ia berlayar lagi dengan kapal raja menuju India……..[10]

Dua prasasti bukti tentang Sriwijaya pada dua kutipan awal di atas menjadi sangat penting ketika kita mencoba melihat bagaimana konsep memisahkan memori sekaligus mengatasi memori di ruang publik coba dijabarkan dalam melacak lokasi Sriwijaya. Pada kalimat kutipan pertama yang diambil dari bait prasasti Kedukan Bukit tersebut, memang terdapat persoalan mengenai transkripan dari kata matada dibait kedelapan dari prasasti tersebut karena mengalami kesulitan batu gopel dan tidak terbaca keseluruhannya pada bagian ini, sehingga kesulitan pembacaannya. Berdasarkan terjemahana dari beberapa ahli, maka Coedes membacanya dengan ma, ta (ka), dja (?) dengan mengiranya “Mantajab”, sementara Krom menduganya dengan kata Melayu, pendapat Krom dibantah de Casparis karena tidak ada kata “la”. Sementara Muljana membacanya, ma-ta-da disusul oleh huruf lain yang sangat samar dan tampak hanya garis vertikalnya saja. Oleh Coedes huruf samar tersebut diperkirakan permulaan aksara “pa”, namun Muljana melihatnya sebagai aksara “na”, sehingga ia membacanya sebagai ma-ta-da-na atau ma-ta-da-nau yang menurutnya mengarah pada pengertian mata air atau danau atau telaga. Dengan demikian kata ini cocok dengan kata telaga pada nama Telaga Batu, tempat ditemukannya beberapa piagam Sriwijaya.

Kalau benar interpretasi para ahli di atas, terutama pendapat Muljana, maka akan ada dua momen yang menurut penulis memiliki kesamaan dengan penjelasan mengenai peristiwa di atas, yakni:

Pertama, telah terjadi apa yang disebut sebagai memisahkan memori kolektif yang dilakukan penguasa Sriwijaya. Kedua, bersamaan dengan itu telah muncul juga apa yang dinamakan dengan mengatasi memori kolektif di kota Fo-shih Sriwijaya pada waktu itu.

Bagian pertama mengenai memisahkan kolektif sejalan dengan pembangunan kota Fo-shih, berhubungan dengan prasasti Kedukan Bukit dan Telaga Batu. Memisahkan kolektif biasanya dalam konsepnya selalu berhubungan dengan momen pergantian sebuah monumen, misalnya momen kedatangan Jepang di Jakarta, di mana pada tanggal 6 Maret 1943, Jepang menginstruksikan agar patung Jan Pieterszoon Coen di lapangan Banteng diturunkan[11]. Patung Coen dianggap sebagai dan menjadi simbol penjajahan Belanda, dan penurunan patung di ruang publik lapangan Banteng tersebut, jelas mempunyai suatu pesan. Pemerintahan Jepang berupaya menghilangkan memori penjajahan Belanda dan bersamaan dengan itu Ia ingin membangun komunitas baru melalui momen-momen yang dapat diingat bersama yang mampu mengubah memori publik. Jepang ingin membangun ruang-ruang tersebut menjadi lebih “segar boegar”, dan kelak dua hari setelah itu, pesan tersebut diteruskan oleh Bung Karno dalam pertemuan massal di lapangan Banteng dengan menyatakan bahwa, “penurunan patung Coen yang menjadi simbol kekuasan kolonial Belanda selama tiga setengah abad telah dilenyapkan. Dengan begitu, pusat imperialisme telah dihancurkan dan Poetra, Poesat Tenaga Rakyat, telah dilahirkan”.[12]

Setelah lapangan dikosongkan dari patung, maka ia menjadi kanvas kosong yang terbuka untuk diisi oleh pesan baru. Masa lalu tidak dihilangkan tetapi dihadirkan dalam bentuk monumen kosong, suatu ruang yang telah dibersihkan untuk menampung kenangan baru. Yang diinginkan di sini bukanlah pembentukkan wacana pengingatan terhadap masa lalu, tetapi pembentukan wacana pelupaan, seakan-akan kapasitas memori itu terbatas sehingga perlu dikosongkan untuk diisi dengan memori baru. Yang terjadi di sini adalah pengolahan memori kolektif untuk merajut momen masa lalu yang dapat dilupakan bersama.

Lalu apa hubungan momen ini dengan momen pada masa Sriwijaya? Ternyata ada hal yang menarik, karena kemudian yang terjadi adalah dengan sebuah penjelasan dekonstruktif kita dapat memahami bagaimana pelupaan memori lama dengan mengganti memori baru terjadi di ruang publik area Telaga Batu pada masa Sriwijaya tersebut. Sekali lagi, kalau memang prasasti pada kutipan pertama di atas, dianggap sebagai monumen pembangunan wihara di Telaga Batu, lalu kenapa namanya bukan Prasasti Telaga Batu, tetapi justru bernama prasasti Kedukan Bukit. Tampaknya ada penjelasan menarik mengenai ini. Bahwa prasasti tersebut berangka tahun 682 atau 683 Masehi, maka prasasti Telaga Batu diperkirakan akhir abad ketujuh. Artinya, pendirian monumen Kedukan Bukit dengan monumen Telaga Batu berjarak waktu 15-30 tahunan. Dalam jangka waktu tersebut Sriwijaya telah mengalami perkembangan pesat, jika dihubungkan dengan jarak antara tahun 1930 dengan 1943 masa Pendudukan Jepang tersebut.

Mula-mula Dapunta Hyang, melalui perjalanan Siddhayatranya, membangun wihara sebagai simbol pembentukkan ruang publik pertamanya di Telaga Batu, namun dalam perkembangannya Telaga Batu tampaknya mendapat saingan baru dengan munculnya pembentukkan ruang publik baru di Bukit Siguntang, di mana tampaknya, wihara baru yang lebih besar telah dibangun di Bukit Siguntang[13]. Hal ini berakibat pada perubahan apa yang disebut dengan konsep poros dunia yang berlaku dalam tatanan keruangan negara Sriwijaya. Poros dunia, berhubungan dengan konsepsi dalam perspektif kota agama, yakni sebuah konstruksi ruang kota ritual yang dapat memperlihatkan bagaimana masyarakat atau penguasa kota tersebut, dalam hal ini kota Fo-shih zaman Sriwijaya tersebut, mereproduksi bentuk kosmos di muka bumi.

Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha tidak dapat disangsikan lagi, baik dari bukti arkeologis maupun berita asing. Konstruksi dalam agama Buddha meyakini dan memandang makna keberadaan ordo manusia sebagai hasil ciptaan manusia itu sendiri secara natural. Akibatnya, pada konsep agama seperti ini, menurut Isaac (1961: 12ff) yang banyak dianut di Asia, ruang sakral sebagai legitimasi reproduksi bentuk kosmos, diciptakan dengan mengimitasi tata bentuk kosmos, maka yang terlihat di kota agama tipe seperti ini dampak pengaruh konsep agama terhadap penciptaan landskap bisa sangat besar.

“Poros dunia” merupakan sebuah area ruang publik yang memiliki tipe sebagai pembawa dan pencipta tiruan kosmos, artinya pada tahap awal ruang publik Telaga Batu diposisikan sebagai tempat yang secara instrinsik diciptakan “Tuhan” lebih suci dari yang lain pada bagian pertama pembangunan kota agama ini. Nilai kesucian tempat tersebut, pertama-tama harus disebarluaskan, kemudian ditetapkan sebagai titik pusat yang abadi, dari sini, titik tersebut, kesucian akan menyebar ke segala penjuru. Jadi, nantinya memalui titik inilah poros dunia bermula, dan poros dunia ini biasanya dilambangkan sebagai pilar dunia, misalnya dalam bentuk sekuntum bunga matahari atau gunung atau bentuk lainnya yang sakral. Oleh karena itu, saya cenderung melihat bentuk rupa bulat telur prasasti Kedukan Bukit sebagai tiruan dari bentuk gunung.

Tetapi kemudian dalam perkembangannya tadi, area ruang publik Telaga Batu, perlahan dalam hitungan yang tidak terlalu lama telah digantikan oleh area ruang publik lain yang lebih kuat dalam memancarkan sinar sebagai area poros dunia. Artinya, ketika kota Fo-shih mengalami revolusi pembangunan kota dan mengarah lebih ke uluh, maka Bukit Siguntang telah menggantikan posisi area Telaga Batu sebagai “poros dunia” baru Sriwijaya. Oleh karena itu, yang terjadi di ruang publik Telaga Batu adalah usaha memisahkan memori kolektif masyarakat kota Fo-shih. Prasasti Telaga Batu awal[14], kemudian dipindahkan pada area ruang publik baru di Bukit Siguntang, tetapi prasasti ini tidak diletakkan di Bukit Siguntang melainkan pada muara sungai Kedukan Bukit[15], sebagai jalan masuk dan pintu gerbang utama ke Bukit Siguntang melalui jalan air. Yang terjadi di sini adalah sebagai sebuah usaha memisahkan memori kolektif di area Telaga Batu sebagai poros dunia. Artinya, dengan tiada laginya prasasti tentang kisah perjalanan siddhayatra Dapunta Hyang di area ini masyarakat kota Fo-shih waktu itu akan melupakan ruang publik area Telaga Batu sebagai poros dunia. Tetapi berbeda dengan masa Jepang di atas, ruang publik kekuasaan di sana tidak tetap tetapi ia mengalami pergantian beru dengan berpindah ke ruang publik baru yakni area Bukit Siguntang. Oleh karena itu, ruang publik lama harus dibersihkan terlebih dahulu dari ingatan publik dengan mengadakan pelupaan memori dari ruang publik tersebut dalam bentuk penghilangan prasasti utamanya dan kemudian menggantinya dengan monumen baru. Maksud dari pelupaan tersebut, agar orang sekaligus mengingat area ruang publik baru di Bukit Siguntang.

Bagian kedua yang ingin dibicarakan di sini adalah mengenai mengatasi memori. Dalam persoalan ini, ingatan kita akan tertuju pada sebuah momen lain yakni kala Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di depan rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur. Sebuah monumen kolektif, bukan individu, setahun kemudian didirikan didepan rumah proklamator itu untuk membantu mengenang peristiwa bersejarah tersebut.[16] Namun di akhir tahun 1950-an, rumah beserta monumen tersebut diinstruksikan oleh Bung Karno untuk dirobohkan, dan monumen tersebut hilang henta kemana,. Pada lahan ini kemudian didirikan sebuah bangunan modernis yang dikenal dengan nama Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta, sekarang Gedung Perintis Kemerdekaan. Pembangunan gedung ini terjadi tahun 1961, yang dianggap sebagai gong dimulainya Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama. Rumah di Pegangsaan Timur beserta memori-memorinya tentunya teramat penting bagi Bung Karno dan masyarakat Indonesia, namun Bung Karno tidak ingin mereka di museumkan. Tampaknya, yang diinginkan oleh Bung Karno dan juga dipahami oleh masyarakat Indonesia, memori-memori awal kemerdekaan tersebut hanya berguna bila mereka bisa diatasi melalui pembangunan atau revolusi yang tiada henti.

Apa hubungan momen pasca proklamasi ini dengan bukti Sriwijaya tersebut? Area Telaga Batu, tampaknya sudah berubah dalam hitungan tahun, sekali lagi monumen Kedukan Bukit tahun 683 Masehi dan monumen Telaga Batu akhir abad ke-7, Dapunta Hyang sebagai pembesar kerajaan, dipanggil Sri Baginda Raja oleh I-ts’ing telah merubah ruang publik dengan mengatasi memori kolektif seperti halnya Soekarno.

Prasasti Telaga Batu kedua,[17] isinya banyak bermuatan persumpahan. Terlepas dari pendapat kalau benar di Telaga Batu merupakan pusat ibu kota Sriwijaya mengapa muncul batu persumpahan ini, sehingga gugatan terhadap Palembang sebagai ibu kota Sriwijaya sering dimulai oleh beberapa ahli sejarah dari sini.[18] Tetapi menurut dekonstruksi ini, saya memiliki pemahaman mengapa batu persumpahan ini harus ada di area publik Telaga Batu, dengan memunculkan telah ada revolusi kota di Telaga Batu tersebut. Perubahan nama pada prasasti tersebut ke Prasasti Kedukan Bukit, boleh dikatakan sama seperti masa Soekarno, artinya ketika Dapunta Hyang memodernisasi kota Fo-shih, maka telah terjadi perubahan atas area Telaga Batu dan sekitarnya, seperti penjelasan menghilangkan memori di atas. Dalam jangka waktu tersebut, Fo-shih telah berkembang pesat, perjalanan Siddhayatra yang dilakukan Dapunta Hyang dalam inskripsi Kedukan Bukit benar-benar membawa kejayaan. Fo-shih mengalami perubahan drastis. Kota Fo-shih telah dikonstruksi pemimpinnya, Dapunta Hyang, dengan melihat lingkungan visual sebagai manisfestasi dari revolusi berkelanjutan dan manusia, seperti tanpa identitas, diharapkan bergerak melalui revolusi ruang yang terus berlanjut. Tampaknya area Telaga Batu dalam konstruksi Dapunta Hyang kemudian dirubah dari ruang publik poros dunia ke pusat sorgawi, ruang ekspresi ritual sekaligus arena pendidikan Buddha di kota Fo-shih, Sriwijaya.[19]

Kota telah mengalami pergeseran kebentuk kesempurnaan sebuah kota agama, telaga batu dianggap memang tidak ditempatkan lagi sebagai bagian utama kota poros dunia, titik pusat yang abadi, karena sudah diganti area publik baru Bukit Siguntang tadi. Tetapi dalam perspektif konsep kota agama ia telah memainkan peran baru yaitu sebagai pusat ritual, sama seperti Bukit Siguntang. Telaga Batu diposisikan sebagai tempat yang secara instrinsik diciptakan “Tuhan” lebih suci sebagai bagian orang melakukan ziarah pendidikan agama. Ruang publik Telaga Batu mengandung nilai kesucian yang harus disebarluaskan. Area publik ini ditempatkan sebagai pelopor modernisasi kota Fo-shih, kalau melihat teks Bung Karno dengan rumahnya di atas, tampaknya hal ini memiliki keserupaan.

Sebagai pelopor modernisasi, yang tampaknya lebih diakibatkan majunya Buddhaisasi di Fo-shih, maka pembangunan dilakukan atas kota Fo-shih dengan memulainya dari Telaga Batu. Ketika membangun inilah, tampaknya Dapunta Hyang berusaha membuat usaha apa yang disebut dengan konsep mengatasi memori, sama seperti Bung Karno, mula-mula Dapunta Hyang menetapkan lahan Telaga Batu dirombak dari area tradisional ke area modern, memori-memori awal pendirian Sriiwijaya di ruang publik Telaga Batu dirombak dan dipindahkan ke area lain. Kemudian di Telaga Batu dibuat monumen modernis dalam pahatan prasasti Telaga Batu.[20] Materi isi Prasasti Telaga Batu walaupun tampaknya mengerikan, namun ini lebih mengarah pada apa yang disebut sebagai penjaga sosial politik kerajaan, dengan sumpah setia kepada rajanya. Dalam konsep ini berarti Telaga Batu ditempatkan sebagai ruang publik arena tempat negara dan masyarakat menunjukkan kekuasaannya melalui perwujudan sosial dan legal. Dapat dikatakan Dapunta Hyang ingin menjelaskan bahwa pergantian prasasti tersebut diperlukan untuk membuat Sriwijaya lebih bergerak lagi. Oleh sebab itu perlu pelupaan untuk membawa Sriwijaya ke era berikutnya. Apa yang dilakukan Dapunta Hyang adalah menghasilkan suatu tipologi memori yang berdasar pemikiran modernis, masyarakat Sriwijaya ditantang untuk berangkat dari “hari ini”, bukan dari “hari-hari sebelumnya”. Dapunta Hyang mengganti posisi Prasasti Kedukan Bukit dengan Prasasti Telaga Batu dengan menampilkan di dalam bait-baitnya sebuah penjaga dan norma hidup baru masyarakat Sriwijaya.

Prasasti Telaga Batu dengan materi persumpahannya, lebih jauh dari itu boleh dikatakan menjadi sebuah monumen “hari ini” atau ruang publik yang ingin diingat oleh rakyat Sriwijaya pada masa baru tanpa dibebani memori masa lalu. Bait-bait prasasti Telaga Batu yang ditampilkan dalam bentuk persumpahan ini, bagi Dapunta Hyang diharapkan mampu mengisi imajinasi dan memori pengunjung ziarah spiritual sebelum mereka diwujudkan secara konkret masuk dalam ruang kota Fo-shih, Sriwijaya. Dapunta Hyang mungkin menyadari saat itu bahwa memori kolektif tidak bisa disimpan dalam suatu objek, monumen atau ruang. Reaksi Dapunta Hyang adalah memperkenalkan tipologi memori yang berorientasi ke depan yang bisa dianggap sebagai suatu langkah pelupaan yang diperlukan supaya Sriwijaya tidak dibekukan oleh peristiwa yang telah berlalu.

Melalui ruang-ruang kota Fo-shih, Dapunta Hyang boleh dikatakan ingin menyatukan persepsi dan aspirasi masa depan masayarakat Sriwijaya. Sepertinya, pelupaan adalah suatu kondisi untuk menyadarkan kita akan perjalanan waktu. Untuk menghindari pemfosil-an terhadap masa lalu, tampaknya Dapunta Hyang tidak memberi tempat kepada “memori lama”. Keragaman memori masa lalu disatukan, sekaligus secara bersamaan juga dilupakan, melalui arsitektur dan ruang modernis terhadap landskap kota Fo-shih. Untuk menambah modernisasi keruangan kota Fo-shih, Dapunta Hyang membangun area publik lain, berupa taman untuk masa\yarakatnya di Talang Tuo, suatu daerah di ujung sungai Sekanak, di muara sungai Lambidaro utara kota Fo-shih saat itu.

(1) Kebahagiaan! Tahun Saka 606, pada hari kedua bulan terang Caitra, itulah waktu taman Srikestra ini dibuat, (2) milik Dapunta Hyang Srijayanaga. Inilah pesan Dapunta Hyang semuanya yang ditanam di sini, nyiur, pinang, enau, rum (3) bia dan lainnya pohon-pohon itu dimakan buahnya demikian juga tanaman-tanaman lainnya bambu aur, wuluh dan pattum (4) tebat dan telaga yang kubuat semua itu dimaksudkan demi kebahagiaan segenap makhluk, baik yang bergerak maupun tidak bergerak...[21]

Piagam Talang tuo ini adalah piagam “pranindhana”, piagam pemberian suatu hadiah oleh raja kepada masyarakatnya. Dengan kata lain, prasasti Talang Tuo adalah simbol kemakmuran kota Fo-shih. Pendirian area monumen ruang publik ini diikuti oleh monumen-monumen lain serupa seperti Karang Brahi di Jambi dan Kota Kapur di Bangka, walaupun kedua prasasti ini senapas dengan prasasti Telaga Batu, tetapi redaksinya berbeda. Perbedaan ini lebih disebabkan bahwa prasasti Telaga Batu sebagai lambang modernis kota Fo-shih ditujukan untuk susunan lapisan masyarakat di kota Fo-shih.[22]

C. Penutup: Kewajiban tentang sebuah Pemasaran Memori

Secara arsitektural, akibat modernisasi sebagai dampak kemajuan agama, buddhaisasi, maka landskap kota Fo-shih telah terbentuk kota membentang dari ilir ke ulu terus ke arah utara. Ruang publik yang ada telah memetakan area Telaga Batu sebagai ziarah dan area pendidikan ritual dengan monumen Telaga Batunya, area Bukit Siguntang sebagai poros barunya, tempat area pemujaan dengan monumen Kedukan Bukitnya, dan Area Talang Tuo sebagai taman dan ladang dengan bendungan dan kolamnya dengan monumen Talang Tuonya.

Berdasarkan bahasan di atas maka yang terlihat dari proses pelupaan dan pengingatan memori dalam konsepsi memisahkan dan mengatasi memori kolektif masyarakat kota Fo-shih, Sriwijaya ini adalah pemaknaan terhadap keruangan publik tersebut yang pada saat bersamaan telah memunculkan tipologi lain yakni pengontrolan memori, dalam hal membentuk kesadaran masyarakat. Yakni baik, dalam persoalan memisahkan maupun mengatasi memori, ruang publik di situ telah mereposisikan diri sebagai area tempat negara, raja Sriwijaya, menunjukkan kekuasaannya melalui pemaknaan sosial dan legal. Artinya ruang publik, terutama diketiga situs tersebut merupakan suatu ruang regulasi yang menyaringkan berbagai memori untuk mencapai suatu konsensus yakni mengarah pada memori kolektif, bahwa kota Fo-shih dengan bukti ketiga monumen tersebar tersebut telah mengalami perkembangan, berevolusi dari kota tradisional spiritual ke kota modern spiritual dengan konsepsi poros dunia barunya.

Berdasarkan wacana dalam tulisan ini, sebenarnya pemaknaan atas ruang publik kota Fo-shih ini telah mengirim pesan pada kita yang hidup jauh dari masa Sriwijaya, di masa sekarang, bahwa apakah ada bentuk keruangan dengan segala pelupaan untuk membangun dan membentuk memori baru seperti ini di kota lain, yang selama ini sering mengklaim diri sebagai pusat Sriwijaya? Apakah itu Chaiya atau Ligor di Tahiland, Perak di Malaysia, Riau, Jambi atau Jawa. Inilah kesempatan bagi kita, warga kota Fo-shih, Palembang di abad ke-21 ini untuk mulai memasarkan memori kolektif tentang Sriwijaya, mari bangun kota Palembang dengan segala kebesaran Sriwijaya… Palembang jaya siddhayatra shubiksa

PUSTAKA ACUAN

Batavia/Djakarta/Jakarta. 1977. Jakarta: Humas Pemerintah Daerah Chusus Ibukota Jakarta.

Coedes, George. 1919. “le Royaume de Crivijaya”,. B.E.F.E.O. XVIII. Termuat juga dalam Kumpulan Coedes dan L. Ch. Damais. 1989. terj. “Kedatuan Sriwijaya: Penelitian Tentang Sriwijaya”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Eliade, M. 1986. Kosmos und Geschichte: Der Mythos der ewigen Wiederkehr. Frankfurt a. M.: Suhrkamp.

Ferrand, Gabriel. 1922. “L’empire Sumatranais de Srivijaya: Relations de Voyages et Textes Geographiques”. J.A. tome CCII, 1922, h. 1-35.

Isaac, E. 1961. “The Act and the Covenant: The Impact of Religion on the Landscape”, dalam Landscape Volume 11, Nomor 2, Hlm. 12-17.

Kern, H. 1913. “Insripties van de Indischen Archipel, Verspeide Geschriften VI, VII, ‘s Gravenhage.

Koentjaraningrat. 1986. Sejarah dan Antropologi Indonesia. Jakarta: UI Press.

Krom, N.J. 1926. De Sumatraansche periode der Javaaneche Geschiedenis. Leiden.

Krom, N.J. 1930. Les incriptions Malaises de Crivijaya. TBG. LIX, 1930, h. 426-431.

Low , Setha, dan Niel Smith. 2006. The politics of Public Space. New York: Routledge.

Muljana, Slamet. 1960. Sriwijaya. Yogyakarta: LkiS.

Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Moens, J.L. 1938. Crivijaya, Yava en Kataha. T.B.G. LXXVII, afl. 3. 1938. dan disalin dalam jurnal bahasa Inggris Journal of the Malayan Branch No. XVII.

Olick, Jeffrey. 1999. “Collective Memory: The Two Cultures,” Sociological Theory, 17, 3, November 1999, hlm. 333-348..

Poerbatjaraka. 1952. Riwajat Indonesia. Jilid I. Jakarta: Jambatan.

Soeara Asia, 13 Maret 1943.

Yamin, Moh. 1958. Penjelidikan Sejarah ttg Negara Sriwijaya dan Rajakula Sailendra dlm Kerangka Kesatuan Ketatanegaraan Indonesia. dalam Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I.



[1] Disampaikan dalam Seminar Sejarah “Membicarakan Kembali Lokasi Sriiwijaya” yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Sejarah Unsri, Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unsri bekerjasama dengan Balai Arkeologi Palembang, Sabtu, 8 Januari 2010.

[2] Penganjur Tulisan Sejarah Alternatif dan Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya.

[3] Koentjaraningrat. Sejarah dan Antropologi Indonesia. (1986)

[4] Istilah asingnya, public space mencakup ruang fisik dan non fisik, seperti jalan, lapangan, taman, wihara, monumen. Lihat dalam Low dan Smith. The politics of Public Space. (2006).

[5] Lihat dalam Olick, Collective Memory. (1999).

[6] Dalam tulisan ini, baik dijudul muapun diuraian, saya lebih senang menyebut toponim daerah tersebut di atas dengan nama Fo-shih, dari pada Palembang. I-ts’ing menyebut Fo-shih untuk nama sungainya, sehingga sungai Fo-shih sering diterjemahkan oleh para ahli sebagai sungai Musi. Artinya, nama Musi sudah ada sejak zaman Sriwijaya, dan juga melekat ke nama kotanya. Sementara nama Palembang sebagai transkripan dari Po-lin-pang baru muncul pada abad ke-13 dalam kronik Chu-fan-chi dan sejarah Ming. Seperti disinggung dalam tulisan Ying-yang-sheng-lan tahun 1419 Masehi dengan ejaan chiu –chiang atau Po-lin-pang.

[7]

[8] Krom, N.J. De Sumatraansche periode der Javaaneche Geschiedenis. (1926). Hlm. 121.

[9] Yamin. Penjelidikan Sejarah ttg Negara Sriwijaya dan Rajakula Sailendra dlm Kerangka Kesatuan Ketatanegaraan Indonesia. (1958)

[10] Diambil dari cuplikan perjalanan pendeta I-Ts’ing.

[11] Batavia/Djakarta/Jakarta. (1977)

[12] Lihat dalam Soeara Asia, 13 Maret 1943.

[13] Diketemukannya patung arca Buddha terbesar setinggi tiga meter di Bukit Siguntang.

[14] Demikian saya menyebut untuk prasasti Kedukan Bukit.

[15] Oleh karena itu prasasti ini lebih dikenal dengan nama prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini berasal di kebun Haji Jahri tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang. Prasasti ini sendiri ditemukan pertama kali oleh kontrolir Palembang Bantenburg, di area pasar 16 Ilir digunakan oleh penduduk sebagai tambatan perahu bidar. Jadi ia dianggap sugesti bidar untuk mendapat kemenangan ketika akan berlomba.

[16] Batavia/Djakarta/Jakarta. (1977)

[17] Demikian saya menyebut nama Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Telaga Batu, Sabokiking, 2 Ilir, Palembang, menurut F. M. Schnitger prasasti ini berasal dari abad ke-10 Masehi, namun menurut J.F. de Casparis berasal dari akhir abad ke-7 Masehi. Tampaknya, kalau melihat dekonstruksi ini, lebih mendekati ke pendapat Casparis. Hal ini diperkuat oleh pendapat Muljana, yang lebih condong menyebut piagam ini berasal dari abad ke-7. Sabokingking, di mana Telaga Batu terletak menurut Muljana berasal dari kata Sambhongin, artinya tempat yang penuh dengan kesenangan.

[18] Menurut rekaan de Casparis, kalau Palembang ibukota Sriwijaya, dapatkah masuk akal bahwa kutukan-kutukan ancaman sangat diabadikan justru di ibukota, mungkinkah warga ibu kota sendiri diancam sedemikian oleh rajanya. Periksa kembali dalam Muljana. Sriwijaya. (1960)

[19] Schnitger dalam rentang setahun 1935 dan 1936 telah mengadakan penggalian di sekitar batu persumpahan Telaga Batu, ia menemukan timbunan-timbunan batu serta batu siddhayatra lainnya, tetapi bukan bekas keraton, melainkan bekas wihara. Wihara selain untuk area pemujaan, juga sering dijadikan area pendidikan spiritual.

[20] Sebagai simbol modernisasi, prasasti Telaga Batu dibuat dalam bentuk lebih modernis, kalau bentuk prasasti awal Kedukan Bukit nirbentuk yang ada di sana, kemudian dimodif dengan bentuk baru prasasti Telaga Batu dengan rupa artistik dan indah berbentuk telapak kaki dengan bagian atas berhias tujuh buah kepala ular.

[21] Isi sebagian teks piagam Talang Tuo. Prasasti Talang Tuo ditemukan oleh pejabat Belanda L.C. Westenenk pada tanggal 17 November 1920 di Talang Tuo tersebut.

[22] Baik pada monumen di Karang Brahi maupun di Kota Kapur, redaksinya lebih ditujukan pada lapisan masyarakat luas kebanyakan. Sementara, untuk Telaga Batu ditujukan pada lapisan masyarakat pejabat, sehingga boleh dikatakan bahwa di Karang Brahi dan Kota Kapur ditujukan publik pedesaan, tetapi Telaga Batu ditujukan untuk publik perkotaan. Artinya, pada akhir abad ketujuh tersebut, di ruang publik Telaga Batu didiami oleh raja putra (yuwaraja, pratiyuwaraja, rajakumara atau rajaputra), bupati (bhupati), senapati, hakim (dang danayaka) dan sebagainya. Pejabat-pejabat tinggi tersebut tinggal disekeliling raja di ibu kota.

Makalah Sriwijaya 2

PELURUSAN (KEMBALI) SEJARAH SRIWIJAYA DI SEKOLAH:

Sebuah Wacana Awal

Oleh:

Dedi Irwanto, S.S., M.A.

ABSTRAK

Dedi Irwanto. 2009. Pelurusan (Kembali) Sejarah Sriwijaya di Sekolah: Sebuah Wacana Awal. Tulisan ini merupakan kajian teoritis yang dilakukan oleh penulis. Ada tiga masalah yang diajukan dalam tulisan ini, pertama, mengapa muncul narasi ”mengambang” tentang pusat Sriwijaya tersebut? Kedua, mengapa perlu diadakan pelurusan sejarah Sriwijaya tentang lokalitas pusat Sriwijaya tersebut? Ketiga, meski masih terlalu dini, singkat dan belum terlalu tajam narasinya, bagaimana contoh konstruksi tentang lokalitas Sriwijaya yang perlu ada dalam buku teks sejarah di sekolah tentunya dengan sebuah pendekatan baru. Berdasarkan masalah-masalah tersebut diharapkan dari tulisan ini akan memunculkan suatu bentuk pemikiran baru bagaimana mengkaji kembali sejarah Sriwijaya, terutama berkenaan dengan lokasi pusatnya. Metodologi dalam tulisan ini menggunakan metode sejarah atau metode histories, suatu metode dalam menyelidiki masa lampau yang meliputi teknik pencarian sumber atau heuristik, pengujian validitas atau keaslian sumber (kritiek) yang meliputi kritik intern dan ekstern, interpretasi atas data yang sudah didapat meliputi analisis dan sintesis, serta historiografi atau penulisan atas data yang sudah dianalisis dan disintesis. Berdasarkan kajian pustaka didapat beberapa hal sebagai berikut Sriwijaya ditemukan lewat pendapat Coedes tahun 1918, dengan teorinya ia menyimpulkan bahwa Sriwijaya berpusat di Palembang. Namun pada buku-buku ajar sejarah di sekolah muncul narasi “mengambang” tentang lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya. Narasi “mengambang” ini muncul dari polemik perdebatan sanggahan terhadap teori Coedes, sehingga memunculkan teori-teori baru lagi tentang pusat Sriwijaya, seperti teori-teori Ivans, Majumdar, Krom, Moens, Stutterheim dan lain-lain melokasikan pusat Sriwijaya sendiri-sendiri di luar kota Palembang. Pada pascakolonial kemudian diikuti reinterpretasi sendiri-sendiri dari ahli sejarah Indonesia, misalnya Poerbatjaraka dengan pusat Sriwijayanya di Jawa, Soekmono di Jambi dan vonis Muljana yang memunculkan Suwarnabhumi sebagai bagian lain Sriwijaya dilokaliasasikannya di Jambi, yang semakin mengambangkan narasi lokasi pusat Sriwijaya. Oleh karena itu, perlu sebuah wacana formulasi elegan dalam mencari sebuah kepastian lokasi pusat Sriwijaya. Wacana yang ditawarkan dalam tulisan ini menggunakan pendekatan konstruksi kota ritual keagamaan atau kota suci, konsep-konsep kota suci tersebut perlu digunakan karena Sriwijaya indetik sebagai kerajaan Buddha.

Kata Kunci: Historiografi, Kajian Teoritis, Sejarah Sriwijaya, Lokasi Pusat, Mengambang.

I. Pendahuluan

Sebagai sebuah kerajaan, Sriwijaya, merupakan nama salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia, mengenal Sriwijaya dari pelajaran-pelajaran sejarah di sekolah yang diajarkan sejak di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah. Bahkan, karena wilayahnya meliputi hampir seluruh Nusantara, terutama bagian barat, Menurut Yamin (1958: 1-2) Kerajaan Sriwijaya dianggap sebagai Nusantara pertama. Namun, sebagai sebuah kerajaan besar, ternyata dalam materi pembelajaran di buku-buku sejarah, baik untuk tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), maupun sekolah menengah atas (SMA), tidak pernah menguraikan lebih mendalam mengenai Kerajaan Sriwijaya. Sehingga yang nampak adalah semacam narasi mengambang tentang Sriwijaya. Narasi mengambang ini terlihat pada kegamangan di materi-materi tersebut, dengan meninggalkan ”lubang besar” tentang lokasi pasti, di mana pusat Kerajaan Sriwijaya berada.

Dalam buku ”babon”-nya sejarah Indonesia, Poesponegoro dan Notosusanto (1993: 53), sekali lagi mengutip pendapat Coedes (1918) dan Beal (1884), dengan menarasikan bahwa She-li-fo-she, sebagai terjemahan dari Sriwijaya, adalah sebuah kerajaan di pantai Timur Sumatera Selatan, di tepi Sungai Musi, ”dekat” Palembang. Mereka berdua tidak berani membuat ”interpretasi” langsung dan pasti dengan menyatakan bahwa Sriwijaya terletak di Palembang. Sekali lagi, Poesponegoro dan Notosusanto, hanya menerangkan bahwa eksistensi Sriwijaya di masa lalu dengan dilihat dari keberadaan 6 buah prasasti yang tersebar di Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dan Pulau Bangka. Deskripsinya tentang isi prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, Kota Kapur, Karang Brahi, dan Palas Pasemah dengan lengkap digambarkan, namun sekali lagi narasinya ”hanya” berputar pada cuplikan-cuplikan tentang isi prasasti tersebut, yang kebanyakan dicomot dari pendapat terdahulu, tanpa ”berani” masuk dalam ranah interpretasi, dengan menghubungkan lokalitas Sriwijaya di Palembang terhadap kebaradaan bukti-bukti tersebut yang terdapat di daerah mandala dengan berpusat pada kota Palembang. Sayangnya lagi, dari penelusuran penulis terhadap buku-buku pelajaran di sekolah, baik pada tingkat dasar maupun sekolah menengah, buku ”babon” ini menjadi acuan utama. Sehingga boleh dikatakan, narasi mengambang tentang pusat Sriwijaya tetap terlestarikan.

”Mengambang”-nya kepastian tentang pusat Sriwijaya, ternyata memiliki konsekuensi pada akuisasi lokalitas pusat Sriwijaya pada beberapa tempat, mulai dari kota di Pulau Sumatera ”lainnya”, selain Palembang, sampai beberapa kota di negara jiron tetangga. Pertama, tidak bisa dipungkiri, bahwa kebesaran Sriwijaya telah tersebar luas membentang dari ujung selatan Sumatera sampai ke utara semenanjung Malaya. Tetapi, nama besar Sriwijaya ini banyak sekali merupakan interpretasi dari sarjana dan ahli sejarah asing, sehingga pendapat-pendapat mereka bahwa pusat kerajaan tersebut juga bermacam-macam, tergantung interpretasinya masing-masing dan tergantung bukti penemuan mereka atas sumber yang direkontruksi dan ditafsirkan tersebut. konsekuensinya, lihatlah ada yang menginterpretasikan pusat Sriwijaya di Palembang, yang lain meletakkannya di Teluk Bandon (sekarang wilayah Muang­thai), di Perak (Malaysia), di Jawa, di Jambi, dan di Muaratakus (Riau). Dasar rekonstruksi ini bermacam-macam mulai dari peta-peta yang menunjukkan nama-nama tem­pat, toponim, yang disebut dalam berbagai sum­ber asing dan catatan perjalanan para pedagang raja zaman itu sampai pada aneka cerita rakyat tentang Raja Sriwijaya.

Berdasarkan bukti arkeologis dan sumber asing, layaknya kebesaran Sriwijaya tidak dapat terelakkan, dapat dikatakan Sriwijaya ”ada di mana-mana”, karena memang temuan jejaknya dapat ditelusuri, mulai dari Jawa, Pulau Sumatera, Semenanjung Malaya, hingga daratan India. Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, maupun Arab. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina yang berasal dari periode mulai dari Dinasti Song (960-1279 M) sampai Ming (abad 14-17 M). Kebesaran Sriwijaya juga terlacak dari peninggalan di India dan Jawa. Prasasti Dewapaladewa dari Nalanda, India, abad ke-9 Masehi menyebutkan, Raja Balaputradewa dari Swarnadipa (Sriwijaya) membuat sebuah biara. Prasasti Rajaraja I tahun 1046 mengisahkan pula, Raja Kataha dan Sriwiyasa Marawijayottunggawarman dari Sriwijaya menghibahkan satu wilayah desa pembangunan biara Cudamaniwarna, nama ayahnya, di kota Nagipattana, India. Manuskrip sejarah, seperti Kitab Sejarah Dinasti Song dan Dinasti Ming, berada di Cina. Raja Sriwijaya juga mendukung penuh pembangunan Candi Borobudur di Pulau Jawa yang terbuat dari batu gunung. Sedangkan candi-candi peninggalan Sriwijaya di Sumatra, karena lokasinya jauh dari gunung semuanya terbuat dari batu bata yang cepat aus dimakan zaman.

Pada tataran internasional, silang pendapat dan ketidakpastian tentang lokalitas pusat Sriwijaya, terlihat ketika muncul kabar terakhir yang datang dari Malaysia. Adalah Raimy Che-Ross, peneliti Malaysia, yang pada tahun lalu menemukan sebuah kota yang hilang di pedalaman Johor. Rahasia itu terkuak berawal dari sebuah naskah kuno milik Stamford Raffles. Ia memperkirakan reruntuhan puing itu berasal dari kota Gelanggi yang pada 1025 M diserbu pasukan Chola dari India Selatan pimpinan Raja Rajendra Cholavarman. Kota itu dulunya terkait erat dengan Kerajaan Sriwijaya. Pada 1612, Tun Seri Lanang, bendahara Royal Court di Johor, menyebut kota Gelanggi yang hilang sebagai Perbendaharaan Permata (Treasury of Jewels). Sebagai catatan, pasukan Cola bergabung dengan Kerajaan Majapahit untuk menyerbu Sriwijaya pada 1377 hingga ludes. Palembang pun lalu jadi kota mati, dan tak lama kemudian dikuasai para perompak dari China. Para bajak laut itu digempur pasukan China pimpinan Chengho, armada Majapahit dengan dukungan Raja Aditiawarman dari Kerajaan Melayu. Narasi ini, ingin memperkuat teori bahwa Semenanjung Malaya identik sebagai pusat Sriwijaya.

Pada tataran lokal, salah satu contoh menarik, misalnya, baru-baru ini, Pemerintah Kota Pagaralam melakukan pengkajian terhadap sejumlah lokasi yang diperkirakan sebagai letak kerajaan Sriwijaya dengan menghubungkannya dengan kebudayaan Basemah, yang mereka yakini sebagai cikal bakal kerajaan Sriwijaya. Pengkajian ini diikuti dengan sebuah seminar nasional bertajuk ”Peradaban Basemah sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya” yang diadakan dari tangal 27 Februari sampai dengan 1 Maret 2009 di Pagaralam. Seminar ini diadakan berdasarkan napak tilas temuan 9 gapura di Rimba Candi yang diperkirakan sebagai gapuranya ”Kraton” Sriwijaya. (www. pemkot pagaralam. co. id. Kerajaan Basemah sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya, diakses dari Internet tanggal 28 Agustus 2009) Lalu kemudian, di Bukit Kumbang, Kecamatan Muara Sahung, Kabupaten Kaur, Bengkulu beberapa temuan onggokan batu coba dihubungkan dengan ”istana Sriwijaya”. (www. Situs Kerajaan Sriwijaya di Kaur akan Teliti. Diakses dari Internet tanggal 28 Agustus 2009) Kegiatan seperti ini memang tidak keliru, namun tampaknya dan terlihat semaunya serta memaksakan diri, namun sekali lagi hal ini membuktikan tentang ”mengambangnya” lokasi pusat Sriwijaya.

Munculnya narasi sejarah ”mengambang” tentang lokalitas pusat Sriwijaya tersebut, melahirkan kebingungan tersendiri, baik dikalangan pendidik maupun peserta didik ataupun juga ”mantan” peserta didik. Sebagai contoh, penulis melakukan sedikit observasi terhadap sepuluh sampel yang terdiri dari pendidik, peserta didik, mulai dari tingkat sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi dan mantan siswa serta alumni mahasiswa. Menariknya, ternyata hasil dari observasi dengan pertanyaan tunggal, “di mana pusat Sriwijaya?” , justru menghasilkan jawaban yang sama mengambangnya, bahkan sampel guru menceritakan, ia mengalami kesulitan menjelaskan pusat Sriwijaya karena narasi dibeberapa buku teks dan pegangan sekolah tentang pusat Sriwijaya tersebut sangat samar dan tidak jelas. Dengan keadaan seperti ini, mestinya penulisan sejarah Sriwijaya, meminjam istilah Asvi (2006), perlu diadakan pelurusan kembali, terutama untuk memperjelas lokasi pusat Sriwijaya pada buku-buku ajar sejarah di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, ada satu hal menarik ternyata lokalitas pusat Sriwijaya di buku teks sekolah ternyata masih mengambang. Oleh karena itu dalam tulisan singkat ini ada beberapa hal yang ingin dikedepankan. Pertama, mengapa muncul narasi ”mengambang” tentang pusat Sriwijaya tersebut? Kedua, mengapa perlu diadakan pelurusan sejarah Sriwijaya tentang lokalitas pusat Sriwijaya tersebut? Ketiga, meski masih terlalu dini, singkat dan belum terlalu tajam narasinya, bagaimana contoh konstruksi tentang lokalitas Sriwijaya yang perlu ada dalam buku teks sejarah di sekolah.

II. Tinjauan Pustaka

III. Metode

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode sejarah atau metode historis. Menurut Garraghan (1963: 24-25), metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan menyajikan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Tujuan penelitian dengan menggunakan metode sejarah adalah untuk membuat konstruksi masa lampau secara objektif dan sistematis, dengan mengumpulkan, mengevaluasi, menganalisis terutama, buku-buku pustaka untuk menemukan data yang otentik dan menarik kesimpulan secara tepat.

Menurut Kuntowijoyo (1994:10-12) metode historis tersebut merupakan suatu metode dalam menyelidiki masa lampau yang meliputi teknik pencarian sumber atau heuristik, pengujian validitas atau keaslian sumber (Kritiek) yang meliputi kritik intern dan ekstern, interpretasi atas data yang sudah didapat meliputi analisis dan sintesis, serta historiografi atau penulisan atas data yang sudah dianalisis dan disintesis. Dengan proses metode sejarah yang dilakukan sedemikian rupa tadi dapat diceritakan kembali kejadian di masa lampau tersebut dengan apa adanya atau obyektifitas. Menurut Gottchalk (1986:38) metode sejarah meliputi pengumpulan informasi yang diperlukan dari berbagai sumber (heuristik), Pengujian otentisitas dan kredibilitas (kritik sumber), analisis dan sintesis tentang interpretasi fakta sejarah dan penulisan (historiografi).

Heuristik, merupakan tahap awal dalam metode sejarah berupa pengumpulan sumber-sumber sejarah, baik tertulis maupun lisan. Dalam tahap ini penulis mencari sumber sejarah dengan mengumpulkan pustaka-pustaka yang relevan dengan topik yang dibahas lewat sebuah studi pustaka.

Kritik sumber, tahap ini dilakukan pembacaan atas sumber-sumber tadi dan menilainya dengan kritis. Penilaian kritis lebih banyak dicurahkan pada statement-statement yang diambil dari beberapa teori penulis lain, baik berupa sanggahan, pembenaran, maupun mencoba membuat teori baru sehingga dapat masuk kelangkah selanjutnya berupa sintesis dan analisis atas masa lampau tersebut.

Interpretasi, setelah lewat pembacaan yang kritis, penulis menghimpun informasi-informasi mengenai suatu periode sejarah yang sedang dipelajari. Menurut Notosusanto (1978:12), berdasarkan segala keterangan-keterangan yang didapat lewat pembacaan kritis, maka dalam langkah-langkah metode sejarah tersebut disusun fakta-fakta sejarah yang dapat dibuktikan kebenaran, sehingga dengan demikian sebuah interpretasi merupakan suatu usaha untuk merangkaikan atau menafsirkan fakta-fakta itu menjadi keseluruhan yang masuk akal. Jadi dalam penulisan ini, hal pertama dari pembacaan-pembacaan kritis terhadap topik Sriwijaya dilakukan penguraian-penguraian atas sintesis-sintesis yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam buku-bukunya. Setelah diuraikan, kemudian coba dihubungkan suatu fakta dengan fakta lain sehingga nanti dapat dianalisis tentang suatu bentuk sejarah Sriwijaya.

Historiografi, pada tahap akhir metode sejarah ini, historiografi, merupakan penulisan hasil penelitian dengan menyajikan hasil-hasil penelitian berupa penelusuran pustaka sebagai kisah dengan membuatnya dalam laporan yang utuh dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan data dan fakta yang diperoleh. Hal seperti itu, sesuai dengan pendapat Kuntowijoyo (1994: 89), bahwa sebuah historiografi adalah cara untuk merekonstruksikan suatu gambaran masa lampau berdasarkan data yang diperoleh lewat proses serialisasi, kronologis dan kausasi serta koligasi.

Pendekatan, tulisan ini menggunakan multi approach, banyak pendekatan, karena menghadapi gejala historis yang serba konfleks. (Kartodirdjo, 1993: 4) Selain ilmu politik, ekonomi dan sosiologi, tulisan ini mencoba menggunakan ilmu bantu lainnya dalam sejarah seperti arkeologi, geologi, geomorfologi, epigrafi, dengan titik berat pada paradigma baru dalam ilmu sejarah yakni pendekatan sejarah kota dengan analisis fenomenologis dan simbolisme sejarah kota agama.

IV. Hasil

IV. 1 ”Mengambang” dan Pusat Sriwijaya

Nama Sriwijaya, sebagai salah satu kerajaan boleh dikatakan hasil penemuan dari Sarjana Perancis, Coedes (1918) yang dalam buku legendarisnya, Le Royaume de Crivijaya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Kedatuan Sriwijaya”. Mula-mula Prof. Chavannes, sejarawan Perancis, yang menerjemahkan buku perjalanan Pendeta I-ts'ing, berjudul Ta-t'ang-si-yu-ku-fa-kao-seng-ch'uan, pada tahun 1894 ke dalam bahasa Prancis dengan judul Memoire compose a l'epoque de la grande dynastie T'ang sur les religieux eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d'Occident. Lalu kemudian disusul Sarjana Jepang Takakusu, pada tahun 1896 menerjemahkan karya perjalanan Pendeta I-ts'ing lainnya, Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-ch'uan, ke dalam bahasa Inggris berjudul A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Dalam kedua buku tersebut, belum mengenal nama Sriwijaya. Walaupun dalam kedua karya perjalanannya ini, I-ts’ing, menyebut pernah mengunjungi Shih-li-fo-shih, atau dalam ejaan Perancis ditulis Che-li-fo-che. Tetapi dalam interpretasi kedua penerjemah tersebut dan juga sejarawan lainnya, nama itu masih dianggap dan diperkirakan transkripsi Cina dari nama asli Sribhoja, belum Sriwijaya. Dalam kedua buku itu, nama Shih-li-fo-shih, yang sering disingkat Fo-shih saja, telah digunakan untuk menyebut negara, ibukota pusat kerajaan, dan sungai yang muaranya sebagai pelabuhan, namun lokalisasinya kerajaan tersebut belum jelas.

Adalah Coedes dalam bukunya di atas, yang mula-mula memberi gambaran jelas dan melokasikan Sriwijaya. Ketika Kern (1913), berhasil menerjemahkan dan menerbitkan isi prasasti piagam Kota Kapur, salah satu piagam Sriwijaya dari tahun 686 M. Namun Kern masih menganggap bahwa nama Sriwijaya yang tercantum pada piagam tersebut adalah nama seorang raja, karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja, diikuti nama raja yang bersangkutan. Coedes, berdasar terjemahan piagam Kota Kapur oleh Kern, dimana terdapat nama Sriwijaya, dan terjemahan karya I-ts'ing, dimana terdapat transkripsi Cina Shih-li-fo-shih, yang kemudian memungkinkan Coedes untuk menetapkan bahwa Sriwijaya adalah nama negara dan kerajaan di Sumatera Selatan. Coedes pun tidak berhenti pada penemuan itu saja, ia berusaha pula menetapkan letak ibukotanya di Palembang berdasarkan anggapan Groeneveldt (1876), dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources, yang menyatakan bahwa Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i adalah Palembang.

Sebenarnya, sarjana Beal (1886) telah mengemukakan pendapatnya, bahwa negara Shih-li-fo-shih terletak ditepi sungai Musi dekat Kota Palembang. Tetapi, ia masih menyebut kerajaan itu sebagai Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i dengan nama Tionghoa yang tidak diketahui nama aslinya, belum Sriwijaya. Meskipun anggapan Beal tersebut boleh dipandang sebagai penemuan ilmiah yang asli, namun karena kepincangan tersebut masih kabur sekali. Sehingga dapat dikatakan bawah, nama Sriwijaya belum dikenal sampai pertengahan kedua abad ke-19 tersebut. Ternyata, penemuan Coedes ini mendapat sambutan yang hebat dalam ilmu pengetahuan sejarah, terutama dalam sejarah Asia Tenggara. Karena letaknya yang sangat ideal untuk lalu lintas pelayaran Jawa, India, Arab, dan Tiongkok, maka sejarah Sriwijaya menyangkut hubungan internasional. Dengan sendirinya sejarah Sriwijaya itu berhubungan dengan sejarah negara-negara lain yang menggunakan Selat Malaka sebagai jalan lalu lintas, dan namanya teringat pula dalam sejarah asing. Apalagi, karena terbukti bahwa Sriwijaya merupakan salah satu negeri besar di antara negeri-negeri di laut Selatan. Penemuan negeri Sriwijaya oleh Coedes ini mengalihkan minat para sarjana sejarah terutama para sarjana Belanda, yang pada waktu itu terlalu banyak memusatkan perhatiannya kepada sejarah Jawa. Justru karena kerajaan Sriwijaya lebih tua daripada kerajaan Mataram lama, sejarah Sriwijaya itu sangat menarik perhatian. Karenanya, perkembangan ilmu sejarah Sriwijaya sangat pesat.

Tetapi, perkembangan pesat ini justru mulai menimbulkan polemik dan sanggahan hangat mengenai periodesasi sejarah Sriwijaya. Sanggahan pertama, berhubungan dengan periodesasi sejarah Sriwijaya oleh Coedes, mula-mula datang dari Krom dengan pidatonya yang beberapa tahun kemudian diartikelkannya dengan berjudul De Sumatraansche periode der Javaaneche Geschiedenis (1926). Lalu kemudian disusul oleh Vogel (1919) serta sarjana Inggris, ahli bahasa, dan sejarah Melayu Blagden (1920) menulis karangannya The Empire of the Maharadja, King of the Mountains and Lord of the Isles. Serta diperkuat kembali oleh pendapat Krom (1926) dengan menerbitkan bukunya, Hindoe Javaansche Geshiedenis dan buku khusus yang membahas tentang Sriwijaya berjudul Les incriptions Malaises de Crivijaya (1930). Pada intinya, buku-buku yang menyangga pendapat Coedes ini berteori tentang saran bahwa dalam Sejarah Jawa menyusup masa pemerintahan raja-raja Sumatera, yakni raja-raja Sriwijaya. Bukti yang dikemukakannya ialah pemakaian banyak kata Melayu pada piagam Gandasuli berasal dari tahun 832 M yang ditemukan di Jawa Tengah.

Namun sanggahan tentang “penyelipan” masa pemerintahan Sriwijaya dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa, terutama oleh Krom tersebut langsung mendapat respon dari Stutterheim (1929) yang menulis buku A Javanese Period in Sumatran History yang membuat teori kebalikan dari Krom bahwa periode kerajaan-kerajaan di Jawa “menyelip” dalam sejarah Sumatera. Kemudian Ferrand (1922) menerbitkan bukunya L'Empire Sumatranais de Crivijaya dengan menyambut dan memperkuat tulisan Coedes terdahulu.

Perdebatan ini kemudian semakin memanas tatkala bukan saja pada polemik periodesasinya tetapi pada pusat Sriwijaya itu sendiri. Mula-mula, Ivans (1932), menulis tentang sebuah cincin yang ditemuinya di Tanjung Rawa, Selinsing, Perak, dengan huruf tulisan pada cincin tersebut ialah huruf Palawa, dan tulisannya terbaca Cri Visnuvarmasya dalam majalah Federated Malay States Museums Vol. XV part 3 seperti berikut:

"It is small sel of red cornelian of good colour and somewhat trasluctant, chamfered at the edges on the face and there engraved with an inscription running the length of the seal in the middle, The dimensions of the piece are 1.45 cms x 1 cm x 4 cm. The back is aflat”.

Konsekuensi dari karangan Ivans ini, lebih jauh berakibat semakin sengitnya perdebatan ahli mengenai pusat Sriwijaya di Perak, Malaysia ini. Mula-mula Blagden dan L.D. Barnett serta Van Stein Callenfels berpendapat bahwa nama Cri Visnuvarmasya, atau Sri Wisnuwarman tersebut adalah nama seorang raja atau seorang pangeran, karena nama itu menggunakan gelar Cri.Kemudian pendapat ini diragukan oleh Prof. Nilakanta Sastri dalam tulisannya berjudul A Note on an Inscribed Seal from Perak yang menafsirkan Visnuvarmasya adalah orang biasa atau seorang saudagar. Karena gelar Cri itu saja belum merupakan jaminan bahwa pemiliknya adalah seorang raja, karena gelar Cri itu sudah umum dipakai sebagai gelar penghormatan pada nama-nama orang biasa. Tetapi pendapat Sastri tersebut, ditentang oleh Ch.Chhabra (1936), dalam karangannya Expansion of indo-Aryan Culture during Pallava Rule, as Evidenced by Inscriptions, dalam J.A.S. Bengal Letters I 1936. Chhabra dengan menghubungkan cincin temuan Ivan dan kajiannya terhadap piagam Ligor A dan B, justru beranggapan bahwa ada hubungan menarik antara Ligor dan Perak. Pertama, nama Sri Wisnuwarman pada cincin dari Perak, Malaysia tersebut juga disinggung dalam prasasti piagam Ligor B. Kedua, karena tempat penemuan cincin itu letaknya tidak jauh dari Ligor, maka Chhabra beranggapan bahwa piagam Ligor A dan B itu pada hakikatnya hanya satu piagam yang terputus sesudah baris ketujuh dan berhubungan erat dengan cincin di Perak tersebut.

Hantaman keras lokalisasi pusat Sriwijaya di Palembang dalam teori Coedes datang dari Moens (1937) dalam terbitannya, Crivijaya, Yava en Kataha yang dimuat di T.B.G. No. LXXVII dan disalin dalam jurnal bahasa Inggris Journal of the Malayan Branch No. XVII. Berdasarkan ilmu Bantu dalam sejarah, pengetahuan geografi dari berita Tionghoa dan Arab, menyimpulkan dan membantah teori Coedes bahwa menurut Moens Sriwijaya tidak pernah berpusat di Palembang. Pada mulanya, pusat kerajaan itu terletak di pantai timur Malaya, kemudian berpindah ke Sumatera Tengah dekat Muara Takus.

Teori Moens bersandar pada berita-berita geografi, salah satunya berasal dari sejarah Sung yang menyatakan bahwa empat hari perjalanan dari Cho-p'o orang sampai di laut, jika berlayar ke arah barat laut sesudah lima belas hari, orang sampai di P'o-ni, dan lima belas hari lagi sampai di San-fo-ts'i. Juga diberitakan bahwa San-fo-ts'i terletak di antara Chen-la dan Cho-p'o. Berdasarkan berita geografi itu, Moens mengambil kesimpulan bahwa San-fo-ts'i terletak di Semenanjung Melayu. Berita Cina ini kemudian ia gabungkan dengan berita Arab yang berasal dari Abu Zaid, di mana Abu Zaid mengatakan bahwa ibukota Yawaga berhadap-hadapan dengan Tiongkok. Menurut pendapatnya, Zabag (Yawaga) sama dengan San-fo-ts'i. Oleh karena itu, diambilnya kesimpulan bahwa San-fo-ts'i terletak di pantai timur Semenanjung. Moens menyamakan San-fo-ts'i dengan Kadaram, oleh karena itu, terpaksa melokasikan Kadaram di pantai timur Semenanjung. Ia juga beranggapan bahwa San-fo-ts'i bersaingan dengan Palembang. Setelah mengalahkan pusat Kerajaan Palembang dan mengusir keluarga raja, San-fo-ts'i lalu mendirikan pusat kerajaan baru di wilayah Melayu, yakni dekat Muara Takus.

Selain itu, untuk memperkuat pendapatnya penunjukan Muara Takus sebagai pusat kerajaan Sriwijaya, juga didasarkan Moens pada, berita i-ts'ing mengenai bayang-bayang diwelacakra yang menjadi panjang atau pendek pada pertengahan bulan delapan. Pada tengah hari, orang yang berdiri di matahari tidak berbayang-bayang sama sekali. Muara Takus terletak pada garis ekuator 0,20'N. Jadi, cocok dengan berita I-ts'ing. Moens menguraikan adanya nama raja Bicau yang dianggapnya sebagai ubahan dari nama raja (Sri) Wijaya dan dongeng tentang adanya Datu Sriwijaya yang menetap di Kotabaru. Berdasarkan itu semua, ia mengambil kesimpulan bahwa pusat kerajaan Sriwijaya terletak di Muara Takus.

Selain Moens, Majumdar (1933) juga membantah teori Coedes tentang lokalitas Palembang sebagai pusat Sriwijaya. Majumdar mengutarakan bahwa kerajaan Sriwijaya di Sumatra hanya sampai abad ke-8, kemudian memperluas kekuasaanya sampai di Ligor. Tetapi kemudian kerajaan itu dihancurkan oleh kerajaan Jawaka, yang disebut dengan San-fo-t'si dalam berita Cina pada masa pemerintahan Dinasti Sung. Pusat kerajaan San-fo-ts'i ialah Ligor. Kerajaan itu dikuasai oleh rajakula Sailendra dari India. Wales (1940) juga membantah teori Coedes dengan menerbitkan karangannya dalam majalah Indian Art and Letters vol. IX no.1. Wales pada dasarnya meragukan lokasi pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang seperti yang dikemukakan oleh Coedes dan ia melokasikan pusat kerajaan itu di Ch'aiya. Wales memberi pertimbangan untuk memperkuat pendapatnya itu dengan banyaknya penemuan-penemuan purbakala di daerah Cha'iya yang terbukti lebih banyak dari pada wilayah Palembang, ditambah kemiripan bunyi antara Sriwijaya dan Sivic’ai sebagaimana nama bukit di sebelah selatan kota Cha’iya. Juga Stutterheim (1935) dalam buku ”verslag over de gevonden inscripties: oudheidkundige vonstend in Palembang door F. M. Schnitgen”, justru melokasikan Sriwijaya buka di muara Sunagi Musi Palembang, tetapi di muara Sungai Indragiri, Riau.

Yang ingin disampaikan berdasarkan kajian-kajian para arkeolog dan sejarawan di atas, dapat dikatakan bahwa sebelum Pearng Dunia II, persoalan pokok sejarah Sriwijaya banyak diperdebatkan menyangkut lokasi pusatnya yang belum mencapat penjelasan secara memuaskan. Setelah Pearng Dunia II, persoalan lokasi kemudian berubah menajdi perdebatan lain tentang asal-usul raja-raja Sriwijaya. Yang menariknya lagi, setelah perang Dunia II, ahli sejarah Indonesia mulai menyelinap di antara sarjana sejaerah asing lainnya.

IV. 2 Kuldesak Dalam (Pelurusan Kembali) Penulisan Sejarah Sriwijaya

Pascakolonial, bukan saja mulai banyak diselipi oleh ahli sejarah Indonesia diantara sarjana sejarah asing, tetapi pembantahan teori penulisan sejarah Sriwijaya dengan lokasi pusatnya di Palembang, kemudian mengalir deras. Mula-mula Poerbatjaraka (1952) menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya ada di Jawa. Yang menarik dari uraian Poerbatjaraka adalah penyebutan yang berbeda-beda tentang raja Sriwijaya dalam prasastinya. Satu piagam menyebutnya dengan gelar punta (dapunta hyang) dan yang lain dengan sebutan maharaja. Poerbatjaraka berkeyakinan bahwa penyebutan maharaja dilakukan setelah Sriwijaya menyerang Pulau Jawa, dan Raja Jawa, Sanjaya, melarikan diri ke daerah pegunungan Dieng, dengan demikian Jawa dapat dikalahkan oleh Sriwijaya. Namun, Sanjaya dari pegunungan ini kemudian dapat mempersiapkan diri untuk membalas dan berhasil mengalahkan Sriwijaya, dan keturunannya nanti yang memakai gelar Sailendra dinobatkan di Sriwijaya dengan memakai gelar Maharaja, Rakai Panangkaran. Panangkaran kemudian menyerang Jawa kembali dengan menaklukan saudaranya, yaitu Dewashimha yang melarikan diri ke Dinayah (Malang). Rakai Panangkaran menjadi raja Sriwijaya yang berkedudukan di Jawa. Tafsir Poerbatjaraka tersebut, berdasarkan cerita Aji Saka, namun oleh beberapa sejarawan peristiwa dalam narasi Aji Saka belum banyak memuat pembuktian yang kuat, karena penuh dengan mitos.

Soekmono (1958), kemudian memberi tafsir tentang lokalisasi Sriwijaya yang berbeda dengan ahli sejarah lainnya dengan pendekatan baru yang digunakan juga berbeda. Soekmono dengan pendekatan geomorfologi, pada intinya, menyangkal pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, ia melokasikannya di Jambi. Soekmono untuk memperkuat teorinya mula-mula menyamakan San-fo-tsi dengan toponim Tembesi. Ia beranggapan, pusat Sriwijaya harus berada ditempat yang strategis, di mana tempat tersebut harus menguasai sepenuhnya jalur lalu lintas pelayaran dari Cina ke India dan sebaliknya. Soekmono, yang kemudian diperkuat dengan tulisan keduanya, Sekali Lagi Tentang Lokalisasi Sriwijaya menyimpulkan bahwa pusat Sriwijaya di Jambi dengan statemen:

... tidak ada pendapat yang menyokong Moens untuk melokalisasikan Sriwijaya di Muara Takus... maka kiranya dapat disimpulkan bahwa kedudukan Jambi semakin kuat .....(Soekmono, 1979: 82)

Sebenarnya pendapat Soekmono tersebut, dengan sendirinya diantam oleh Muljana (1960), dengan bukunya yang berjudul Sriwijaya. Muljana dalam buku tersebut berbicara panjang lebar dengan sekali lagi memperkuat pendapat Coedes tahun 1900-an. Pendapat Muljana pada tahun 1960 tersebut, kemudian mengalami perubahan signifikan ketika ia menulis buku keduanya Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Pendapatnya pada tahun 1960-an sebelumnya, yang nampaknya sedikit meredakan pendapat kepastian lokasi Sriwijaya di Palembang, ia bongkar sendiri dengan reinterpretasi baru dan berbeda dengan sebelumnya. Buku kedua Muljana (1981) tersebut yang merevisi buku pertamanya kembali mengangatkan dan semakin “mengambangkan” narasi tentang lokasi pusat Sriwijaya. Yang menarik dari buku kedua Muljana ini adalah pertama, tafsirnya atas periode Sriwijaya yang berbeda dengan pendapat-pendapat ahli sejarah sebelumnya. Menurut Coedes, periodesasi Sriwijaya membentang mulai abad ke-7 sampai awal abad ke-14 Masehi, namun Muljana berdasar rekonstruksi atas berita Cina, membagi masa Sriwijaya dalam tiga babak, sesuai dengan judul bukunya. Periode pertama, zaman Kuntala sebagai masa awal Sriwijaya yang membentang sebelum abad ke 7, bahkan ditarik sampai abad ke-3-4 Masehi. Periode kedua, zaman Sriwijaya sebagai perkembangan pertamanya, dan periode ketiga zaman Suwarnabhumi sebagai perkembangan keduanya. Yang kemudian ditutup, narasi zaman Samudera yang dianggap sebagai masa awal kerajaan Islam di Sumatera.

Yang menarik kedua dari pendapat Muljana di buku keduanya ini adalah apa yang semula diyakini sebagai pengertian sama atas tafsir antara Shih-li-fo-shih dan San-fo-ts’i sebagai terjemahan Sriwijaya dari tulisan Cina, kemudian dibongkar konstruksinya oleh Muljana sebagai tafsir baru yakni Shih-li-fo-shih sebagai terjemahan Sriwijaya sendiri dan San-fo-ts’i sebagai terjemahan baru dengan pengertian yang mengacu ke kata Kerajaan Suwarnabhumi yang tidak pernah muncul sebelumnya. Dus, tafsir atas toponim ini lebih jauh kemudian berpengaruh pada pengertian lokasinya, di mana ia melokalisasikan Sriwijaya tetap di Palembang, tetapi Suwarnabhuminya diletakkannya di Jambi. Jadi, berdasar tafsir baru Muljana tersebut, boleh dikatakan setengah pendapatnya tetap berpihak pada teori Coedes, namun setengahnya lagi ia palingkan pada pembenaran untuk teori Soekmono, yang sebelumnya ia bantah.

Inilah yang menyebabkan, semakin mengentalnya narasi “mengambang” tentang lokasi pusat Sriwijaya. Oleh karena itu, tampaknya persoalan ini perlu dibutuhkan sebuah kata “kuldesak” untuk pelurusan kembali penulisan sejarah Sriwijaya. Kuldesak berkenaan dengan “sesuatu” yang mesti mengalami perubahan yang mendesak, dalam hal ini demi sebuah kata “mencari kepastian” tentang sebuah lokasi pusat Sriwijaya.

Menariknya, pada tingkat lokal, Ismail (2003) kemudian menulis buku tentang Sriwijaya dengan judul Periodesasi Sejarah Sriwijaya, dalam bukunya ini tanpa bermaksud mengesampingkan keilmuan penulisnya dalam bidang sejarah, ia kemudian meletakkan titik pusat masalahnya pada persoalan toponim “Minanga”, sebagai asal usul tempat pusat Sriwijaya yang terbaitkan dalam prasasti Kedukan Bukit. Posisi Minanga tersebut diposisikannya pada suatu daerah Minanga, Ogan Komering Ulu Timur sekarang ini. Ia melihatnya dengan pendekatan kemiripan dan keserupaan nama dalam prasasti Kedukan Bukit tersebut serta menganggap bahwa pada zaman purba daerah ini terletak di tepi pantai ditambah kedudukan bahasa Komering sebagai cikal bakal bahasa Melayu Kuno atau Proto Melayu, tetapi sayangnya tafsirnya tidak diikuti dengan pembuktian secara ilmiah. Pendapatnya tersebut cenderung bermuatan kronik mitologi, sebagian pendapatnya dikutip sebagai berikut:

Dalam pertapaannya Jaya Naga meminta restu dan memohon petunjuk dan kekuatan dari sang Ghaib di Gunung Seminung untuk menaklukkan tempat-tempat yang strategis agar dapat menguasai jalur pelayaran di Laut Cina Selatan.... Untuk mewujudkan cita–citanya tersebut Dapunta Hyang Sri Jaya Naga melakukan konsolidasi dengan daerah belakang yang satu rumpun yaitu rumpun Sakala Bhra (Purba)... Sepulang dari penaklukan daerah belakang makin kuatlah pasukan kerajaan Sriwijaya yang di dukung oleh pasukan tambahan dari satu rumpun, pasukan atau laskar sriwijaya terkenal akan keberanian, dan kekuatannya mulai melakukan expansi pertamanya yaitu dia harus menaklukan Tanjung Palembang dan menunjuk Mukha Upang (Kedukan Bukit) di daerah Palembang sebagai titik temu...dengan membawa 20.000 (duapuluh ribu) pasukannya dengan 1.312 berjalan kaki melalui daratan atau hutan belantara dan sebagian lagi membawa perahu mengikuti perairan... Pada tanggal 16 Juni 683 Masehi atau sekitar tujuh hari perjalanan sampailah rombongan pasukan yang di pimpin Dapunta Hyang Sri Jaya Naga di Muka Uphang. Perjalanan pasukan Sriwijaya mendapat kemenangan besar sehingga memberikan kepuasan bagi Sang Raja Dapunta Hyang Sri Jaya Naga, kemudian Sang Raja memerintahkan untuk membuat bangunan atau rumah (barak) untuk tempat para laskar Sriwijaya yang berjumlah 2 laksa laskar Sriwijaya, untuk mengabadikan kemenangan tersebut di pahatlah Prasati Kedukan Bukit...

Sekali lagi tampaknya, karena kelamahan dalam pembuktian ilmiahnya tafsir dari Ismail tersebut, kembali kurang mendapat respon dalam memposisikan lokasi pusat Sriwijaya.

IV. 3 (Mencoba) Rintisan (Mencari) Tafsir Baru Atas Lokasi Pusat Sriwijaya

Jika berbagai pendekatan, baik arkeologis, epigrafi, geologis, dan geomorfologis di atas tampaknya semakin mengusutkan benang merah tentang lokasi pusat Sriwijaya, maka pertanyaan yang pantas dilontarkan adalah pendekatan bagaimana dan apa lagi yang setidaknya “menyembati” berbagai persepsi berbeda ini, sehingga narasi “mengambang” tentang lokasi pusat Sriwijaya dan kebingungan para penggemar sejarah Sriwijaya di sekolah dapat sedikit berkurang.

Dalam tulisan ini, ada sebuah pendekatan yang ingin dituangkan, namun pendekatan ini baru pada tataran wacana dan untuk itu perlu ditindaklanjuti dengan sebuah penelitian luas. Pendekatan ini adalah pendekatan dekonstruksi keruangan kota Sriwijaya, pendekatan ini berawal dari konstruksi ruang kota ritual keagamaan. Pendekatan ini penting, karena Sriwijaya adalah sebuah kerajaan beragama Buddha, dengan demikian di atas dapat diterapkan sebuah konstruksi ruang ritual keagamaan Buddha itu sendiri. Pendekatan baru ini, selanjutnya akan berujung pada suatu kesimpulan dalam memahami kota manakah yang lebih layak sebagai pusat Sriwijaya.

Pendekatan konstruksi ruang kota ritual mencoba melihat bagaimana masyarakat atau penguasa kota, dalam hal ini kota zaman Sriwijaya tersebut, mereproduksi bentuk kosmos di muka bumi. Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha tidak dapat disangsikan lagi, baik dari bukti arkeologis maupun berita asing. Konstruksi dalam agama Buddha menyakini dan memandang makna keberadaan ordo manusia sebagai hasil ciptaan manusia itu sendiri secara natural. Akibatnya, pada konsep agama seperti ini, menurut Isaac (1961: 12ff) banyak dianut di Asia, ruang sakral sebagai legitimasi reproduksi bentuk kosmos, diciptakan dengan mengimitasi tata bentuk kosmos, maka yang terlihat di kota agama tipe seperti ini dampak pengaruh konsep agama terhadap penciptaan lanskap bisa sangat besar. Berdasarkan hal ini, nantinya akan terindikasi bagaimana kota-kota, kuil-kuil dan monumen-monumen dibuat sebagai tiruan kosmos, yang disana juga tampaknya ada tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai tempat yang secara instrinsik diciptakan “Tuhan” lebih suci dari yang lain. Nilai kesucian tempat tersebut, pertama-tama harus disebar luaskan, kemudian ditetapkan sebagai titik pusat yang abadi, dari sini, titik tersebut, kesucian akan menyebar ke segala penjuru. Jadi, nantinya memalui titik inilah poros dunia bermula, dan poros dunia ini biasanya dilambangkan sebagai pilar dunia, misalnya dalam bentuk sekuntum bunga matahari atau gunung atau bentuk lainnya yang sakral. Yang menjadi pertanyaan, kalau dekonstruksinya seperti ini, dimanakah pilar dunia kota Sriwijaya tersebut, walau harus dijabarkan lebih panjang lebar dan ini memang suatu keharusan nantinya jika ditindaklanjuti menjadi sebuah penelitian, pilar dunia kota Sriwijaya berdasar literatur yang dibaca dapat dikatakan terletak di “Bukit Siguntang”, tidak ada tempat lain dalam literatur tentang Sriwijaya yang dibaca mendekati kesempurnaan bentuk poros dunia bermula seperti ini, misalnya di Jambi, Riau, Perak, Malaysia, atau Ligor dan Ca’iya di Tahiland Selatan yang selama ini diperdebatkan sebagai pusat Sriwijaya.

Menariknya, menurut Eliade (1986: 22), jika tempat, sebagai poros dunia ini, tidak menunjukkan tanda-tanda kesucian intriksik yang nyata, yang biasanya dianggap “liar” atau terjadi “chaos”, maka proses penciptaan dunia harus diulangi secara simbolis. Maka dapat dipahami misalnya dalam isi Prasasti Kedukan Bukit terdapat sebuah kata Sriwijaya jayasiddhayatra subhiksa, perjalanan atau arak-arakan jaya Sriwijaya memuaskan. Jadi, pencarian pilar dunia kota Sriwijaya dilakukan dengan sebuah perjalanan jaya yang munkin saja dilakukan dari poros dunia yang telah terjadi chaos sebelumnya. Jadi dalam tata konsep kota agama tersebut, sebuah kota dibangun dibangun dengan meniru tata bentuk arketipe kosmos, simbolisme arsitektural yang memiliki kaitan dengan titik pusat. Dalam tata kota suci seperti itu, menurut Eliade (1986: 25), ada tiga simbol utama yang berhubungan dengan dan dimiliki oleh suatu pusat, yakni pertama sebuah gunung, biasanya gunung suci tempat terartikulasikannya surga dan dunia. Kedua, kuil, istana atau monumen ritual yang dipandang sebagai gunung suci dan dengan demikian merupakan pusatnya. Ketiga, kota suci atau kuil suci yang merupakan pilar dunia dan dengan demikian merupakan artikulasi antara surga, dunia, dan dunia arwah. Kalau ini dibaca dan dicocokkan dengan literatur yang ada, tampaknya tidak ada penciptaan lanscap simbolisme kota suci tersebut yang terdapat di Jambi, Riau, Perak, Malaysia, atau Ligor dan Ca’iya di Tahiland Selatan, kecuali di Palembang. Lanscap gunung suci tampaknya di Bukit Siguntang, Istana di daerah Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) sekarang ini, yang membentang mulai dari Padang Kapas, Kambang Unglen sampai ketepian Musi, Kuil Suci dapat dilokasikan di Telaga Batu, Sabukingking sekarang ini. Meskipun ini merupakan penafsiran kasar dan awal, namun jika diteliti lebih jauh konstruksi lanscap seperti ini dapat dijelaskan dengan baik. Hal ini sebenarnya, cocok dengan pendapat Pierre-Yves Manguin yang pada tahun 1992 dan 1993 membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Siguntang dan Sabokingking.

Jadi, dengan tata konsep kota agama tersebut, tampak sebuah kota kayangan, dimana terdapat sebuha tempat berkomunikasi sehingga dianggap sebagai artikulasi antara surga dan bumi. Artinya, kota sebelum dibentuk awalnya merupakan tempat-tempat upacara ritual, yang menurut (Wheatley, 1967; 25-26), kemudian berubah menjadi pusat kota dan lingkungannya terus menerus mengalami urbanisasi. Menurut literatur yang dibaca, tempat seperti ini tidak dapat diilustrasikan di kota manapun yang dianggap dan dicap sebagai kota pusat Sriwijaya, selain di Palembang.

Lebih jauh Wheatley berpendapat, bahwa dari titik kesucian tempat-tempat suci tersebutlah, pada peringkat apapun, akan memnacar empat cakrawala ke empat penjuru mata angin sehingga teritorialnya, yang bersifat kuasa dapat terakumulasi dengan susunan kosmos dan menciptakan sebuah ruang suci atau habitabilis. Ruang suci ini membingkai ruang dimensi tempat penyelenggaraan ritual-ritual penting untuk memastikan keselarasan antara makro-kosmos dan mikro-kosmos, yang bertujuan demi terciptanya kemakmuran di dunia manusia. Berdasarkan hal ini, dapat dipahami jika dalam beberapa literatur dan bukti arkeologis, jika Sriwijaya adalah sebuah kerajaan berbentuk mandala. Menurut Utomo ada tiga prasasti yang bisa dijadikan pijakan kuat untuk menyimpulkan pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, yakni Kedukan Bukit, Telaga Batu dan Talang Tuo yang terletak di Palembang serta cakrawala empat penjuru anginnya yang terdiri dari utara Parasasti Karang Birahi di Jambi, Selatan ada Prasasti Palas Pasemah di Lampung dan Timur ada Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka.

Konstruksi ritual kota agama Buddha di Sriwijaya tersebut, dalam konsep ini, bercirikan dualisme etika, buka dualisme kosmos. Menurut Evers (1972: 104), dualisme etika, biasanya akan berhadapan antara konsep lokottara dan laukika. Lokottara, dunia lain terkait dengan dunia nanti setelah kelahiran kembali dan berhadapan dengan laukika atau dunia ini, yang terkait dengan dunia manusia sekarang. Dalam konteks Chough (1982: 544), ada pertalian antara sang Buddha dan para dewa melalui kedua orientasi tata nilai yang berlawanan ini. Artinya, raja memiliki posisi, secara teoritis ia berada didunia lokottara sebab berkaitan dengan unsur uttara, kedigdayaan, kedaulatan tertinggi tetap dalam prakteknya, raja pasti terlibat dalam urusan duniawi, laukika. Ketika berada di dunia lokottara, ia menjadi Bodhisatwa, sang Buddha dan ketika berada di laukika ia menjelma menjadi Chakkravarthin, penakluk dunia, ingat epiteton “pembunuh atau penggempur musuh-musuh”, dalam prasasti Ligor B. Menurut konsep Evers (1969), dalam tataran seperti itu, raja sebagai pelindung Sangha dalam agama Buddha, maka dari itu ia mendirikan biara-biara dan ia memberikan tanah-tanah yang luas. Maka hal ini dapat dilihat dalam isi-isi prasasti raja-raja Sriwijaya: ... Laghu mudita datang maruwuat wanua, “dengan lega gembira datang membuat wanua”... wiara ini di wanua ini (bait ke-9 Prasasti Kedukan Bukit) ... dgan tawad talaga sawanyaknya yang wuatku sucarita parawis prayojanakan punyanya sarwwasatwa sacaracara ware payanya tmu, “demikian pula taman-taman lainnya dengan tebat dan telaganya yang kubuat semuanya itu dimaksudkan demi kebahagiaan segenap makhluk, baik yang bergerak maupun tidak bergerak” (bait ke-4 Prasasti Talang Tuwo) ... Raja memegang peranan penting karena dianggap sebagai mediator antara laukika dan lokattara, antara Buddha dan dewa. Oleh karena itu, teori mengenai gelar Dapunta Hyang dapat dipahami, Dapunta dianggap sebagai gelar orang yang berkedudukan tinggi di biara dan dianggap agak aneh oleh Muljana (1960: 152) jika kepala biara ikut campur dengan urusan ketentaraan serta agak aneh jika kepala biara memberikan hadiah taman, tidak hanya satu, kepada masyarakat, karena menurut Muljana justru kebalikannya kepala biaralah yang mendapat hadiah. Sebaliknya menurut konsep di atas sangatlah wajar raja Sriwijaya bergelar Dapunta Hyang Sri Jayanaga, Dapunta Hyang gelar lokattaranya, Bodhisatwa, titisan sang Buddha, raja adalah dewaraja agama Buddha, jadi raja tidak dipandang sebagai dewa karena bertentangan dengan agama Buddha, raja setengah dewa dan Sri Jayanaga gelar laukikanya, raja penguasa yang adil, keadialan dan karmanya membawa kemakmuran bagi kerajaan, ia menjadi raja karena karma dan kebajikannya. Legitimasi atas kawasan muncul dari raja sendiri, baik ia sebagai penguasa yang suci, dharmaraja, atau sebagai penakluk dunia, chakkravadin. Sebagai dharmaraja ia menjadi pemimpin ritual suci, dan sebagai chakkravadin, keberhasilannya dalam serangan-serangan militer mencerminkan kedigdayaan dan prestasi sang raja. Jadi, kekuasaannya sebagai penakluk dilegitimasi lewat agama. ...Dapunta Hyang berangkat dari Minanga Tamwa membawa dua laksa orang, dua ratus orang di perahu, yang berjalan seribu, 312 orang banyaknya, datang dari matadanau (bait ke-4-7 Prasasti Kedukan Bukit)... tentara Sriwijaya berangkat ke Bhumi Jawa, karena Bhumi Jawa tidak berbakti (bait terakhir Prasasti Kota Kapur)....

Jadi, berdasarkan uraian-uraian sebagian dari konsep kota suci di atas, dengan laukika dan lokottara, seperti itu mestinya dapat dilacak di mana kota lokasi pusat Sriwijaya, harusnya kota pusat Sriwijaya memiliki konsepsi kota suci dengan dunia laukika dan lokottara yang menjembati sang rajanya dalam dunia, surga dan dunia arwah. Maka dari semua litelatur kota yang dianggap sebagai lokasi pusat Sriwijaya, sekali lagi Palembanglah yang dapat dan bisa serta memiliki semua landscap dengan ekspresi sempurna seperti itu. Tambahan lagi dalam sebuha konsep kota ritual, biasanya selalu diiringi dengan munculnya konsep kota yang menyerupai kota-kota di India, yang terbentuk berdasarkan susunan berlapis teridir dari kota raja yang ditopang sekelilingnya oleh struktur kota pengrajin, seniman dan seterusnya. Maka sekali lagi konsep kota India seperti ini, tentang kota pusat Sriwijaya hanya cocok untuk kota Palembang.

Demikian wacana ini diuraikan, meskipun ini hanya merupakan narasi singkat dan pendek, tetapi kalau diikuti dan ditindaklanjuti dengan sebuah penelitian luas, maka sebuah keyakinan akan dapat diharapkan, nantinya tulisan ini dapat menjadi sebuah referensi simbolik kota Sriwijaya dengan sebuah pendekatan baru, yang dapat menjembati pendekatan terdahulu tentang penulisan sejarah Sriwijaya, sehingga narasi “mengambang” tentang pusat Sriwijaya paling tidak menemukan titik terangnya. Meskipun tampaknya masih terburu-buru tetapi paling tidak dapat membawa pada kepastian, sehingga tidak menimbulkan kebingungan, terutama di mata pelajaran sekolah. Pendekatan ini, tidak mengenyampingkan sumber-sumber terdahulu, namun sekali lagi misalnya kalau sumber asing sebelumnya telah dikonstruksikan oleh ahli sejarah zaman neerlandosentrisme (kolonial), kemudian direkonstruksikan zaman Indonesiasentrisme (sejarawan nasional tahun 1950-akhir abad 20-an, maka sumber tersebut dapat didekonstruksikan oleh penulis sejarah zaman kini (pascakolonial).

V. Kesimpulan

Sriwijaya ditemukan lewat pendapat Coedes tahun 1918, dengan teorinya ia menyimpulkan bahwa Sriwijaya berpusat di Palembang. Namun pada buku-buku ajar sejarah di sekolah muncul narasi “mengambang” tentang lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya. Narasi “mengambang” ini muncul dari polemik perdebatan sanggahan terhadap teori Coedes, sehingga memunculkan teori-teori baru lagi tentang pusat Sriwijaya. Puncak dari perdebatan ini, terjadi pada pascakolonial ketika para hali sejarah Indonesia sendiri merekonstruksikan kembali berbagai sumber yang ada dan menggunakan berbagai pendekatan baru yang berbeda dengan ahli sejarah sebelumnya. Maka yang terjadi kemudian, setelah pada masa kolonial, Ivans, Majumdar, Krom, Moens, Stutterheim dan lain-lain melokasikan pusat Sriwijaya sendiri-sendiri di luar kota Palembang. Lalu diikuti dengan reinterpretasi sendiri-sendiri dari ahli sejarah Indonesia pascakolonial, Poerbatjaraka dengan pusat Sriwijayanya di Jawa, Soekmono di Jambi dan vonis Muljana yang memunculkan Suwarnabhumi sebagai bagian lain Sriwijaya dilokaliasasikannya di Jambi, semakin mengambangkan narasi lokasi pusat Sriwijaya. Oleh karena itu, perlu sebuah wacana formulasi elegan dalam mencari sebuah kepastian lokasi pusat Sriwijaya.

Wacana yang ditawarkan dalam tulisan ini menggunakan pendekatan konstruksi kota ritual keagamaan atau kota suci. Berdasarkan konsep-konsep kota suci, karena Sriwijaya indetik sebagai kerajaan Buddha, yang ditawarkan dalam tulisan ini maka dari semua literatur yang diacuh, terindikasi konstruksi, landschap dan bentuk kota suci ini ternyata tidak terdapat di kota-kota lain yang dijadikan bahan perdebatan mulai dari Jambi, Muara Takus, Muara Inderagiri, Teluk Kuantan, Perak di Malaysia, Ligor dan Ca’iya di Tahiland Selatan, kecuali kota Palembang sendiri. Oleh karena itu, berdasar pendekatan ini dapat dikatakan dan disimpulkan meskipun tampaknya kasar dan terburu-buru, Palembang tidak diragukan lagi adalah Lokasi Pusat Sriwijaya. Persfektif penulisan baru sejarah Sriwijaya yang bertujuan mencoba meluruskan kembali penulisan sejarah Sriwijaya dengan multiapproach ini diharapkan menyembati pendekatan-pendekatan lain, sekaligus dapat melokasikan dengan pasti di mana pusat kerajaan Sriwijaya.

DAFTAR PUSTAKA

Asvi, Warman Adam. 2006. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Beals, S. 1886. “The Situation of the country called Shi-li-fo-shai”, NBG, 24, 1886, I-V bijlage I.

Blagden, C.O. 1920. “The Empire of the Maharadja, King of the Mountains and Lord of the Isles”. JMBRAS, Volume II, p.t. 3, h. 258-263.

Clough, B. 1982. Sinhalese-English Dictionary. Colombo: Wesleyan Missions Press.

Coedes, George. 1919. “le Royaume de Crivijaya”,. B.E.F.E.O. XVIII. Termuat juga dalam Kumpulan Coedes dan L. Ch. Damais. 1989. terj. “Kedatuan Sriwijaya: Penelitian Tentang Sriwijaya”. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Eliade, M. 1986. Kosmos und Geschichte: Der Mythos der ewigen Wiederkehr. Frankfurt a. M.: Suhrkamp.

Evers, Hans-Dieter. 1967. “Monastic Landlordism in Ceylon: a Traditional System in a Modern Setting”, dalam Journal of Asian Studies, Volume 28, Nomor 3, 1969, hlm. 685-692.

Ferrand, Gabriel. 1922. “L’empire Sumatranais de Srivijaya: Relations de Voyages et Textes Geographiques”. J.A. tome CCII, 1922, h. 1-35.

Garraghan, Gilbert J. A Guide to Historical Method. New York: Fordham University Press. 1963.

Gottchalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press. 1986.

Groeneveldt, W.P. 1876. “Notes on the Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources”, VBG XXXIX, 1876.

Isaac, E. 1961. “The Act and the Covenant: The Impact of Religion on the Landscape”, dalam Landscape Volume 11, Nomor 2, Hlm. 12-17.

Ismail, Arlan. 2003. Periodesasi Sejarah Sriwijaya. Palembang: Unanti Press

Ivans, Ivor H.N. 1932. “Cri Visnuvarmasya”, dalam majalah Federated Malay States Museums Vol. XV part 3. 1932.

Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kern, H. 1913. “Insripties van de Indischen Archipel, Verspeide Geschriften VI, VII, ‘s Gravenhage.

Krom, N.J. 1926. De Sumatraansche periode der Javaaneche Geschiedenis. Leiden.

Krom, N.J. 1930. Les incriptions Malaises de Crivijaya. TBG. LIX, 1930, h. 426-431.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994.

Majumdar, R. C. 1933. “les Rois de Cailendra de Suvarnadvipa. B.E.F.E.O. XXXIII.

Muljana, Slamet. 1960. Sriwijaya. Yogyakarta: LkiS.

Muljana, Slamet. 1981. Kuntala, Sriwijaya dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.

Moens, J.L. 1938. Crivijaya, Yava en Kataha. T.B.G. LXXVII, afl. 3. 1938. dan disalin dalam jurnal bahasa Inggris Journal of the Malayan Branch No. XVII.

Notosusanto, Nugroho. 1987. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Yayasan Idayu.

Poerbatjaraka. 1952. Riwajat Indonesia. Jilid I. Jakarta: Jambatan.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

S. Sartono. 1979. Pusat-pusat Kerajaan Sriwijaya berdasarkan Interpretasi Paleogeografi, Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta.

Soekmono. 1958. Tentang Lokasi Sriwijaya. Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I. Jakarta : MIPI.

Soekmono. 1979. Sekali Lagi Tentang Lokasi Sriwijaya. Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta.

Stutterheim, W.F. 1929. “A Javanese Period in Sumatran History”. Surakarta. TBG LXIX, 1929, h. 135-156.

Yamin, Moh. 1958. Penjelidikan Sejarah ttg Negara Sriwijaya dan Rajakula Sailendra dlm Kerangka Kesatuan Ketatanegaraan Indonesia. dalam Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I.

Vogel, J. Ph. 1919. “Het koninkrijk Crivijay”. BKI LXXXIV, h. 167-232.

Wales, Quaritch. 1940. “Archaeological researches”. Indian Art and Letters vol. IX no.1. 1940

Wheatley, P. 1967. The City a Symbol. London: University College London.

www. pemkot pagaralam. co. id. Kerajaan Basemah sebagai Pendahulu Kerajaan Sriwijaya, diakses dari Internet tanggal 28 Agustus 2009

www. Situs Kerajaan Sriwijaya di Kaur akan Teliti. Diakses dari Internet tanggal 28 Agustus 2009